Saturday, January 15, 2011

Maaf, Aku Bukan Mujahadah


bismullahirrahmanirrahim
dengan nama Tuhan Yang Memberi kekuatan padaku untuk dapat terus berdiri hingga kini.



Aku hanya wanita yang alpha, penuh borok di sana-sini. terlahir sebagai muslim saja, aku sudah sangat beruntung. Bisa mengenal kalian yang sesama muslim dan kalian yang nonmuslim semakin membuatku bersyukur dengan keberadaanku sekarang sebagai muslimah. Mengenal kalian, membuatku semakin paham tentang apa sebenarnya Islam dan bagaimana Tuhanku, Allah swt. Mengenal kalian, saudara seiman dan kawan-kawan nonmuslim, membuatku semakin tahu betapa Allah menyayangiku dengan segala kekurangan dan keterbatasanku di mata manusia.

Statusku sebagai muslimah hingga kini, aku rasa bukan apa-apa. Karena aku tidak seperti kalian, saudari seiman yang biasa saling menyapa dengan sebutan "ukhti". Yang saling mengatakan kalian dan yang seperti kalian adalah "akhwat", yang kalian katakan wanita yang taat pada Allah karena jilbab yang panjang menjuntai dan tebal. Aku bukan wanita yang kalian kira berilmu tinggi tentang Islam dan tentang Allah. Tidak, aku tidak di antara kalian.

Aku bukanlah makhluk Tuhan yang kaya akan ilmu dan memiliki keterpahaman agama yang luas seperti kalian. Tapi, di setiap tempat aku dapat duduk, di sana aku berusaha mendapatkan ilmu sebanyak-banyaknya, dari manapun itu. Dari guru, teman, kerabat, bahkan dari kalian (para saudari akhwat), dari dedaunan yang gugur dan jatuh ke tanah, dari burung yang mampu terbang bebas melesat mengudara, atau dari anjing, makhluk-Nya yang dikatakan najis sekalipun.

Aku tidak seperti kalian, yang dengan mudah menebarkan senyuman. Aku hanya bisa menunduk dan terdiam dalam kesendirian, dalam duniaku. aku bukan kalian.

Aku tidak seberani kalian yang mau keluar rumah untuk masalah organisasi dan pulang larut malam dengan dalih rapat demi kebaikan dan demi nama Allah. Maaf, aku tidak bisa seperti itu, karena bagiku keberadaanku sebagai wanita lebih aman di dalam ruanganku.

Aku tidak bisa seperti kalian yang turun kejalan membawa spanduk-spanduk besar dan berteriak menyuarakan yang kalian inginkan dengan kibaran jilbab-jilbab panjang kalian. Bukan, aku bukan kalian. Karena yang aku tahu, suaraku adalah bumerang bagiku. Teriakan itu, bukan milik wanita Allah.

Aku memang bukan kalian yang mau ikut organisasi ini dan itu, yang lagi-lagi mengatakan berjihad di jalan Allah dengan berbondong-bondong ke pusat kota dengan kibaran pakaian taqwamu bersama panasnya udara Jakarta. Sungguh saudariku, aku tidak bisa seperti kalian. Lagi-lagi, aku hanya bisa berjihad dengan sedikit ilmuku.

Aku memang bukan mujahadah seperti kalian yang turun ke jalan. Tapi, tak layak pula kau katakan yang tidak ada di jalan bukan seorang mujahadah. Karena yang aku tahu, tak ada dalam kitab apapun itu demo salah satu bentuk jihad.

Ah, berjihad yang kecil saja --melawan hawa nafsuku-- kadang aku kewalahan, bagaimana dengan jihad-jihad besar lainnya seperti kalian? Aku memang tak layak di antara kalian, saudariku. Yang mampu berkumpul bersama para lelaki yang kalian panggil "akhi" dan berpredikat ikhwan. Bukan ... ternyata aku bukan bagian dari kalian.

Aku hanya muslimah biasa. Yang aku tahu, Islam memuliakanku dan kalian sebagai wanita dengan segala kelemahan yang kita miliki. Yang aku tahu, Allah dan Habiballah Muhammad telah sangat memuliakan di antara kita yang berada di dalam rumah, berdiam diri menjaga kesucian, harga diri dan keluarga kita. Bukan di atas trotoar bersama spanduk-spanduk besar yang dijunjung tinggi berdalihkan jihad fii sabilillah.

Saudariku, maaf, aku memang bukan mujahadah seperti kalian yang mau keluar rumah dan sibuk dengan organisasi dan dakwah serta demo-demo yang kalian suarakan. Aku hanya bisa meniatkan diri, mensucikan hati atas nama Allah bahwa perjalanan hidupku mencari ilmu dunia dan akhirat yang bermuara surga hanya hanya untuk-Nya. Bagiku, tiap langkah ini adalah jihad atas-Nya, meski kaki ini tak mampu melangkah bersama derapan para "ikhwan" di jalan-jalan kota Jakarta.

Maaf, jika aku yang kau kenal bukanlah mujahadah, bukan yang mau ikut serta dalam kesibukan dakwahmu. Tapi bagiku, tiap kata yang terangkai oleh lisan ini harus membawa berkah bagi yang mendengar, dan dapat menjadi jalan jihadku dalam menyampaikan betapa damainya Islam.

Maaf, aku bukan mujahadah. Aku tak mampu berjihad bersama kalian. Tapi aku harap, tiap ilmu yang aku peroleh dari semua makhluk Allah dapat menjadi sarana jihadku di tempat yang berbeda dengan kalian. Dengan sedikit ilmu yang aku punya, semoga itu bisa menjadi sarana tersendiri bagiku. Aamin.

Sekali lagi, maaf, aku bukan mujahidah. Tapi, bukan berarti kami (aku dan muslimah sepertiku) tidah berjihad atas Allah. Hanya Allah Tahu segalanya.

Saturday, January 8, 2011

Ingrid Mattson: Dari Nasrani, Atheis hingga Islam


tulisan saya kali ini bukan murni buah kata dar pikiran saya, melainkan hanya repost sebuah artikel dari salah satu situs berita. mengingat isi dari berita ini cukup menarik untuk diketahui, jadilah saya repost artikel ini di blog saya dengan harapan bisa berbagi ilmu yang terkandung di dalamnya. yup. silakan di tengok :)

***

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON--Masih ingat Ingrid Mattson, salah satu tokoh yang diundang pada inaugurasi Barack Obama setelah kandidat Presiden Amerika Serikat (AS) dari Partai Demokrat itu menang dalam pemilu dua tahun lalu? Dia yang menjabat presiden Komunitas Islam Amerika Utara (ISNA) merupakan salah satu pemimpin agama yang kini cukup berpengaruh di Amerika Serikat.

Ia memperoleh gelar sarjana dalam bidang filsafat dari Universitas Waterloo, Ontario, pada 1987. Sementara gelar PhD pada studi Islam ia peroleh dari Universitas Chicago pada 1999. Penelitiannya mengenai Hukum Islam dan Masyarakat. Selama kuliah di Chicago, ia banyak terlibat pada kegiatan komunitas Muslim lokal.

Ia duduk dalam jajaran Direktur Universal School di Bridgeview dan anggota komite Interfaith Committee of the Council of Islamic Organizations of Greater Chicago. Mattson juga pernah menetap di Pakistan dan bekerja sebagai pekerja sosial bagi pengungsi wanita Afghanistan selama kurun waktu 1987-1988. Pada 1995, ia ditunjuk sebagai penasihat bagi delegasi Afghanistan untuk PBB bagi Komisi yang membidangi Peran Perempuan.

Saat bekerja di kamp pengungsi di Pakistan inilah ia bertemu dengan pria yang kini menjadi suaminya, Amer Aetak, seorang insinyur dari Mesir. Dari pernikahan mereka, pasangan ini dikaruniai seorang anak perempuan bernama Soumayya dan satu orang anak laki-laki bernama Ubayda.

Karena pernikahankah ia berpindah agama? Tidak, ternyata. Ingrid mengenal Islam jauh sebelum itu.

Tumbuh dan besar dalam lingkungan Kristen di Kitchener, Ontario, Kanada, ia memutuskan berhenti pergi ke gereja pada usia 16 tahun. Ia mengemukakan alasan yang kemudian diterima oleh ayahnya, seorang pengacara: tidak bisa lagi percaya dengan apa yang diajarkan oleh gereja.

Ia menjadi tak berama hingga menimba ilmu di Universitas Waterloo. Seni dan filsafat menjadi jurusan pilihannya. Bagai dipandu, bidang inilah yang kemudian hari mengantarkan pada cahaya Islam.

****

''Setahun sebelum saya masuk Islam, saya banyak menghabiskan waktu saya mencari dan melihat hal-hal yang berhubungan dengan seni. Saat mengikuti pendidikan bidang filsafat dan seni rupa, saya duduk berjam-jam dalam ruang kelas yang gelap untuk melihat dan mendengarkan penjelasan profesor saya melalui infokus proyektor, tentang kehebatan hasil karya Seni Barat,'' paparnya.

Di Departemen Seni Rupa Universitas Waterloo tempatnya bekerja kemudian, ia berkelana ke berbagai museum sejarah dan seni. Secara kebetulan, di Museum Louvre yang berada di tengah Kota Paris, ia berjumpa dengan seorang Muslim. Ia menyebut momen tersebut sebagai "musim semi" dalam hidupnya.

Gambaran mengenai Islam yang ia dapatkan dari kedua orang teman barunya ini, membawa Ingrid pada pengenalan wajah Islam. Ia menyatakan tertarik pada peradaban Islam tidak menganut sistem penggambaran sesuatu dalam bentuk visual di dalam memuja Tuhan dan menghargai seorang nabi.

''Allah adalah sesuatu yang tersembunyi. Tersembunyi dalam pantulan mata umat manusia. Tetapi, orang yang memiliki penglihatan dapat mengenali Tuhannya dengan melihat, mempelajari pengaruh dari kekuatan ciptaan-Nya.''

Ia pun mulai menggali tentang ketuhanan dan kepribadian Muhammad melalui Alquran terjemahan. Yang membuatnya semakin tertarik dengan Islam adalah semua umat Muhammad tidak hanya mengikutinya dalam hal beribadah, tetapi juga di dalam semua aspek kehidupan, mulai dari kebersihan diri sampai pada cara bersikap terhadap anak-anak dan tetangga.

Perkenalan Ingrid tentang Islam makin berkembang saat ia berkunjung ke sejumlah negara yang mayoritas berpenduduk Muslim. Beberapa peristiwa yang dia temui di negara-negara tersebut, diakuinya, makin mempertebal keyakinannya terhadap Islam.

Maka di tahun yang sama, ia memutuskan bersyahadat dan menjadi Muslimah. Ia pun menukar pakaiannya dengan busana muslimah lengkap dengan jilbab.

Pada tahun 1987 ia memutuskan pergi ke Pakistan sebagai relawan. Setahun ia mengabdikan diri bagi kemanusiaan. Ternyata di tempat yang sama, ada pula seorang pemuda yang juga menjadi relawan, Aamer Atek, seorang insinyur asal Mesir. Merasa sehati, keduanya memutuskan menikah.

"Ibu-ibu Pakistan bertkaca-kaca saat saya bilang hanya emas sederhana sebagai mahar dan baju pengantin pinjaman. Di hari berikutnya, mereka datang dengan membawa segudang hadiah. Sungguh indah persaudaraan dalam Islam," ujarnya.