Saturday, September 10, 2011

Berbagi Tradisi dalam Silaturahmi

IDUL FITRI atau biasa disebut Lebaran memang identik dengan istilah mudik atau pulang kampung ke kampung halaman. Tahun ini, ada yang berbeda dengan momen Lebaran saya. Jika orang lain mudik ke kampung halaman masing-masing, kali ini saya tidak mudik ke kampung orang tua (sebenarnya sih saya memang tidak pernah mudik. Hiks.), tapi saya mudik ke kampung orang.

Nah, untuk acara mudik kali ini, mau tidak mau saya (seharusnya) harus tahu tradisi bertamu ke kampung halaman orang, apalagi jika bertamu dan bermalam. Dari perjalanan ini saya jadi tahu bagaimana tradisi dan adat istiadat masih dipegang erat oleh orang yang tinggal jauh dari kota besar bernama Jakarta. Dan hal ini semakin jelas keberadaannya ketika kemarin saya bertamu ke rumah salah satu teman di tsanawiyah.

***

Perjalanan ini bermula pada t anggal 2 September lalu. Saya pergi mudik ke Subang, kampung salah seorang teman, dengan dua orang teman dari Jakarta. Sebenarnya, menurut saya perjalanan ini cukup mendadak. Beberapa hari menjelang hari raya Idul Fitri, salah satu dari kami merencanakan perjalanan ini dan jadilah tanggal 2 September sebagai tanggal keberangkatan saya dan yang lainnya dari Jakarta.

Seperti biasa, target utama kami setiap mengunjungi “sarang komunis kedua” ini adalah rimbunan hijau berupa bukit yang siap kami daki untuk menikmati ciptaan Tuhan Yang Mahaindah. Rencana awalnya, kami hanya ingin tinggal di sana semalam saja. Tapi ketika tiba waktunya pulang, ternyata kami kehabisan bis tujuan Jakarta (terminal Kampung Rambutan). Akhirnya, ya…, mau tak mau kami kembali membongkar tas masing-masing dan menunda kepulangan kami untuk keesokan harinya.

Saat saya dan tuan rumah tiba, saya langsung masuk ke kamar untuk kembali beristirahat. Sementara itu, teman saya yang menjadi tuan rumah pergi ke luar kamar cukup lama. Dari kamar, terdengar perbincangan teman saya dengan ayahnya, tapi hanya samar-samar. Sesampai di kamar, mulailah teman saya ini menceritakan apa yang dibicarakannya dengan ayahnya di luar kamar. “Adat istiadat bertamu orang sini (baca:Ciater),” katanya. Dari sinilah perbincangan kami berdua seputar tradisi bersilaturahmi dari daerah masing-masing.

***

Pembicaraan ini bermula ketika ayah teman saya berbicara dengan teman saya dan menanyakan asal kami, terutama yang lelaki. Saat mendengar kami berasa dari Jakarta, sang ayah kurang lebih menjawab dengan bahasa sunda yang artinya, “Oh, pantesan. Polos banget.” Karena tidak mengerti dengan maksud ayahnya, saya bertanya apa arti polos dalam jawaban ayahnya.

Sambil tiduran, teman saya menceritakan maksud jawaban dari ayahnya. Jadi, maksud polos di sini adalah cara bertamu yang seperti anak kecil; datang bertamu ke temannya (saja) dan cuek dengan orang tua temannya.

Ternyata, tradisi bersilaturahmi atau bertamu di tanah sunda ini sangat berbeda dengan di kota besar seperti Jakarta yang sudah melebur dengan tradisi barat. Berdasarkan cerita teman saya, biasanya kalau ada anak muda yang bertamu, orangtua temannya harus ikut menemani tamu anaknya. Dan yang tidak saya sangka, orangtua bukan hanya menemani, melainkan juga mengajak tamu anaknya berbincang. Sehingga, tamu anaknya tak hanya menjadi tamu anaknya, melainkan juga menjadi tamu semua orang yang ada di rumah, termasuk orangtua.

Tak hanya itu, di sini pun ada tradisi yang (menurut saya) hampir sama dengan tradisi orang Jawa. Yakni ketika ada anak dan orangtua yang sedang berbicara, posisi si anak harus lebih rendah dari orang tua. Jadi, ketika orang tua duduk di atas bangku, kami sebagai yang lebih muda harus duduk di lantai atau tidak duduk sama sekai. Bahkan di sini antara orangtua dan anak tidak diperkenankan untuk duduk dalam satu bangku yang sejajar. Katanya, lebih baik duduk di bangku yang berbeda, kalau tidak ya seperti tadi, duduk di lantai atau tidak duduk sama sekali.

Dahsyat, begitu pikir saya. Tradisi yang sudah cukup langka di Jakarta ternyata masih menjadi satu perbincangan penting di daerah yang sejuk ini. Sangat berbeda dengan di kota kelahiran saya!

Memang saya bukan orang yang cukup sering bertamu atau menerima tamu, karena kegiatan saya di luar lebih banyak saya habiskan di kampus atau kegiatan sosial di luar. Berbeda dengan tempat teman saya, di Jakarta saya pernah bertamu ke rumah teman, tapi ya hanya begitu saja; orangtua menghampiri saat tamu anaknya datang dan ingin pulang, selebihnya ditinggal ke kamar atau ke belakang.

Oh iya, seperti yang saya tuliskan di awal, kemarin saya bersilaturahmi ke kediaman salah seorang teman tsanawiyah saya. Kalian tahu? Perbedaan tradisi bertamu sangat jelas berbeda ketika saya bertamu ke rumah teman saya yang satu ini. Jika adat daerah menganggap tamu anak adalah tamu orang tua juga, di sini kami datang bersaliman dengan orang tuanya lalu ditinggalkan di ruang tamu sambil menunggu temna kami yang masih di kamarnya. Selama kami bertamu, orang tua teman kami malah duduk di teras rumahnya. Lalu, ketika kami hendak pulang, barulah kami bertemu lagi untuk bersalaman pamit pulang.

Ada satu lagi tradisi yang cukup saya saluti. Ketika di Jakarta kata “permisi” menjadi asing diucapkan jika berjalan di jalanan, kecuali di daerah sekitar rumah. Di sini kata permisi harus diucapkan kepada siapa saja, sekali pun kepada orang yang tidak dikenal. Hal ini juga dilakukan kepada anak kecil atau dengan sekadar menyapa anak kecil yang sedang bermain di pinggir jalan. Kata teman saya, kata punten yang berarti permisi dapat meningkatkan derajat kita di masyarakat. “Itu semua karena kita dianggap tidak sombong, Kak.”

Di Jakarta, kata permisi itu sendiri (lagi-lagi menurut saya) adalah kata yang harus diucapkan dengan hati-hati. Kenapa hati-hati? Ya, di kota besar seperti ini, menyapa dan bersikap ramah kepada orang yang tidak dikenal malah menimbulkan kecurigaan. Ya, sikap ramah tidak selamanya dianggap baik di kota ini. Jangan tanya kenapa, karena kenyataannya itulah yang pernah saya rasakan.

“Ada lagi. Kalau jalan jangan nunduk, Kak. Di sini mah kalau jalan nunduk bisa dikira sombong.” Begitu kurang lebih kata teman saya. Ini dia yang menjadi pukulan bagi saya. Parahnya, teman saya baru memaparkan adat istiadat di sana ketika saya dan teman-teman lain sudah mengelilingi daerah sekitar sana.

Mendengar perkataan teman saya ini, saya yang biasa berjalan menunduk agak kikuk. Untuk berjalan tidak menunduk, cukup sulit sepertinya. Mengingat saya memang seorang yang pecanggung dan sangat pemalu kalau ada di daerah baru. Belum lagi jalan menunduk sudah jadi kebiasaan saya kalau berjalan dimana saja.

Setelah mendengarkan cerita tentang adat istiadat daerah sana, saya langsung menyadari betapa beragamnya negara Indonesia. Tak hanya bahasa dan agama, melainkan hal bertamu pun menjadi hal penting ketika kita mengingat kebaradaan kita di tengah tanah Indonesia yang kaya perbedaan. Mungkin sulit untuk menyatu dan melebur dengan tradisi orang, tapi sepertinya asik juga kalau kita bisa mengerti adat istiadat dan tradisi daerah yang asing dengan kita. Bukan hanya untuk memahami perbedaan yang ada, melainkan juga sebagai sarana belajar menghargai tradisi dan meninggikan kesopan yang jelas mulai terkikis di kota-kota besar.

Sejak mendapatkan pengalaman ini, saya semakin suka berkunjung ke kampung orang. Selain untuk menikmati suasana yang berbeda dengan Jakarta, saya juga ingin sedikit-sedikit mengenal tradisi dan adat istiadat yang masing mengental di lini-lini pedasaan.

Oh iya, melalui perjalanan ini saya jadi tahu kalau memegang tradisi dan adat istiadat bukan berarti kampungan, melainkan menjadi sarana mengekalkan tatakrama dan kesopanan anak muda terhadap yang lebih tua maupun pada sebayanya.

***

Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung ^_^

1 comment: