Thursday, July 9, 2009

Hari Jilbab Internasional untuk Mengenang Marwa Al-Sharbini

Meski pemerintah Jerman berusaha menutup-tutupi kematian Marwa Al-Sharbini, cerita tentang Marwa mulai menyebar dan mengguncang komunitas Muslim di berbagai negara. Untuk mengenang Marwa, diusulkan untuk menggelar Hari Hijab Internasional yang langsung mendapat dukungan dari Muslim di berbagai negara.

Usulan itu dilontarkan oleh Ketua Assembly for the Protection of Hijab, Abeer Pharaon lewat situs Islamonline. Abeer mengatakan, Marwa Al-Sharbini adalah seorang martir bagi perjuangan muslimah yang mempertahankan jilbabnya. "Ia menjadi korban Islamofobia, yang masih dialami banyak Muslim di Eropa. Kematian Marwa layak untuk diperingati dan dijadikan sebagai Hari Hijad Sedunia," kata Abeer.

Seruan Abeer disambut oleh sejumlah pemuka Muslim dunia antara lain Rawa Al-Abed dari Federation of Islamic Organizations di Eropa. "Kami mendukung usulan ini. Kami juga menyerukan agar digelar lebih banyak lagi kampanye untuk meningkatkan kesadaran tentang hak-hak muslimah di Eropa, termasuk hak mengenakan jilbab," kata Al-Abed.

Selama ini, masyarakat Muslim di negara-negara non-Muslim memperingati Hari Solidaritas Jilbab Internasional setiap pekan pertama bulan September. Hari peringatan itu dipelopori oleh Assembly for the Protection of Hijab sejak tahun 2004, sebagai bentuk protes atas larangan berjilbab yang diberlakukan negara Prancis.

Seperti diberitakan sebelumnya di Eramuslim, Marwa Al-Sharbini, 32, meninggal dunia karena ditusuk oleh seorang pemuda Jerman keturunan Rusia pada Rabu (1/7) di ruang sidang gedung pengadilan kota Dresden, Jerman. Saat itu, Marwa akan memberikan kesaksian dalam kasus penghinaan yang dialaminya hanya karena ia mengenakan jilbab.Belum sempat memberikan kesaksiannya, pemuda Jerman itu menyerang Marwa dan menusuk ibu satu orang anak itu sebanyak 18 kali. Suami Marwa berusaha melindungi isterinya yang sedang hamil tiga bulan itu, tapi ia juga mengalami luka-luka dan harus dirawat di rumah sakit.

Kasus Marwa Al-Sharbini menjadi bukti bahwa Islamofobia masih sangat kuat di Barat dan sudah banyak Muslim yang menjadi korban. "Apa yang terjadi pada Marwa sangat berbahaya. Kami sudah sejak lama mengkhawatirkan bahwa suatu saat akan ada seorang muslimah yang dibunuh karena mengenakan jilbab," kata Sami Dabbah, jubir Coalition Against Islamophobia.

Dabbah mengatakan, organisasinya berulang kali mengingatkan agar para muslimah waspada akan makin menguatnya sikap anti jilbab di kalangan masyarakat Barat.

Profesor bidang teologi dan filosifi dari Universitas Al-Azhar, Amina Nusser juga memberikan dukungannya atas usulan Hari Jilbab Internasional yang bisa dijadikan momentum untuk merespon sikap anti-jilbab di Barat. "Hari peringatan itu akan menjadi kesempatan bagi kita untuk mengingatkan Barat agar bersikap adil terhadap para muslimah dan kesempatan untuk menunjukkan pada Barat bahwa Islam menghormati keberagaman," tukas Nusser.

Nusser menegaskan bahwa hak seorang muslimah untuk berbusana sesuai ajaran agamanya, tidak berbeda dengan hak penganut agama lainnya. Ia mengingatkan, bahwa kaum perempuan penganut Kristen Ortodoks juga mengenakan kerudung sebelum masuk ke gereja.

Dukungan untuk menggelar Hari Jilbab Internasional juga datang dari Muslim Association of Denmark. Ketuanya, Mohammed Al-Bazzawi. "Hari Jilbab untuk mengingatkan masyarakat Barat bahwa hak muslimah untuk mengenakan jilbab sama setara dengan hak perempuan non-Muslim yang bisa mengenakan busana apa saja. Mereka di Barat yang bicara soal hak perempuan, selayaknya menyadari bahwa mereka juga tidak bisa mengabaikan hak seorang perempuan untuk mengenakan jilbab," tandas Al-Bazzawi.

Bagaimana dengan Muslim Indonesia, apakah akan memberikan dukungan juga?(ln/iol)

sumber: http://eramuslim.com/berita/dunia/diusulkan-hari-jilbab-internasional-untuk-mengenang-marwa-al-sharbini.htm

Sunday, July 5, 2009

Anekdot Tafsir Cinta

Alkisah, terdapat tiga orang filsuf yang sedang berdebat daam sebuah rumah yang gelap dan hanya diterangi oleh cahaya bulan yang menyelinap di antara celah bilik-bilik rumah.

Dialog mereka terdengar begitu sengit. Dan tak ada yang tahu, mengapa mereka dapat bertemu dalam waktu yang bersamaan. Meskipun itu terjadi, pasti ada hal yang sangat penting untuk mereka diskusikan. Dari dalog yang terdengar, mereka sedang berdebat mengenai makna ‘cinta’. Mereka memang sudah tua. Namun, adakah batas usia seseorang untuk membicarakan cinta?
Tiga orang filsuf tersebut adalah Karl Marx sang filsuf materialis, Rene Descartes si filsuf rasionalis dan Jalaluddin Rumi seorang filsuf penyair sufi dari Persia. Berikut adalah perdebatan mereka:

Marx : menurutku, cinta itu seperti tongkat ini. Ia harus terwujud dalam suatu bentuk yang dapat
dilihat oleh mata. Juga dapat dirasakan oleh ondra. Selain itu, sulit untuk membuktikan
adanya cinta,
Rene : bukankah ia bersifat abstrak?
Marx : Betul.. Artinya …
Rene : Kalau begitu, ia tidak bersifat abadi. Bagaimana kalau tongkat itu rapuh, patah dan rusak?
Bagaimana jika kau berganti tongkat?
Menurutku tidak seperti itu. Kesadaranlah yang membuat kita terpesona akan indahnya cinta.
Bisakah kau mencumbu kekasihmu tanpa kesadaran?
Dengan kesadaran, orang akan tahu bahwa ia bagian dari cinta.
Tak ada lagi egosentristak, apalagi kehendak yang tak terbatas.
Semua bertautan denga koridor yang disadarinya. COGITO ERGO SUM
Marx : benar, tapi bagaimana dengan pembuktiannya?
Rene : apakah segala sesuatu perlu pembuktian empirik?
Kawan Rumi, bagaimana menurut Anda?

Rumi yang lebih banyak diam terperanggah.

Rumi : cinta hanya ada di sini. –ia berbicara sambil menunjuk dadanya—
Cinta itu terlalu suci untuk diteorikan. Biar aku mengalah saja, aku sudah menemukan
cintaku, dan itu hanya untukku.

Lalu Rumi menari sambil tersenyum riang.
****************
Lalu, apakah makna ‘cinta’ bagi Anda?