Tuesday, August 24, 2010

‘mereka’ adalah apa yang kita pikirkan tentang ‘mereka’

Dalam novel Layla Majnun karya Nizami, dikisahkan bahwa Majnun menjadi raja hutan karena kecintaannya kepada kekasihnya, Layla. Semua hewan buas yang biasa memangsa manusia, tunduk dan jinak dihadapannya. Dengan syair-syair yang digubahnya, srigalapun menawarkan dirinya untuk menjadi bantalan tidur Majnun.

Ada sebuah kisah yang terselip dalam novel ini, mengenai kesetiaan hewan dan manusia. Tidakkah binatang adalah cerminan manusia? Ya, mereka adalah apa yang kita pikirkan tentang mereka.

Alkisah, terdapat seorang raja di kota Merv. Raja ini memiliki beberapa anjing penjaga. Mereka bukan anjing biasa, tetapi lebih menyerupai setan yang dirantai. Setiap anjing memiliki kekuatan seperti babi hutan, dan rahang mereka yang besar mampu memutuskan kepala unta dalam sekali kerkahan.

Mengapa raja memelihara makhluk-makhluk mengerikan seperti itu? Jawabannya, untuk merobek-robek dan memakan mangsanya. Lantas, siapakah yang menjadi mangsanya? Mereka adalah orang-orang yang tak mendukung raja dan yang membuatnya marah. Orang itu akan dilemparkan ke kerumunan anjing-anjing ini, dan menjadi santapan mereka.

Di kalangan penghuni istana, kebetulan ada seorang anak muda yang sangat cerdas dan lihai dalam segala seni dan tipu daya. Tentu saja ia tahu tentang anjing-anjing galak dan fungsinya yang menakutkan itu. Betapapun bahagia ia tampaknya dari luar, diam-diam ia gemetar. Bukankah raja adalah orang yang cepat marah dan berhati kejam? Bukankah besok atau lusa ia bisa membenci orang yang saat ini ia cintai? Kebenciannya bisa terjadi secara tiba-tiba. Kebaikan hati seorang penguasa tak bi sa diramalkan sebagaimana langit di musim semi. Anak muda itu merasa ngeri saat memikirkan ansib yang mungkin terjadi pada dirinya. Apa yang harus ia lakukan?

Ia mulai masuk ke sekitar kandang anjing dan berbincaang ramah dengan para penjaga kapan pun ada kesempatan. Ia pun memberi mereka hadiah-hadiah kecil sehingga perlahan-lahan mendapatkan kepercayaan dari mereka.

Langkah selanjutnya, ia memberikan hadiah kepada anjing raja berupa potongan-potongan daging, dan terkadang satu ekor kambing. Ia mulai bercanda dengan binatangbhuas ini dan berbicara pada mereka. Kini ia bias mengelus-ngelus dan menepuk-nepuk kepala mereka tanpa takut digigit ataupun dicakar. Itulah tujuan yang diinginkannya.

Hari naas yang ditakutkannya pun tiba, tanpa alas an apapun ang raja sangat marah pada anak muda itu. Dalam kergeramannya, ia memerintahkan untuk melemparkan pemuda malang itu ke kandang anjing. Titah sang raja pun dilakukan. Pemuda tak berdaya itu dilemparkan ke dalam kandang anjing dalam keadaan tangan dan kaki yang terikat.

Lalu apa yang terjadi dengan pemuda tersebut? Anjing-anjing itu berkumpul disekitarnya sambil mengibas-ngibaskan ekornya, menjilati wajah dan tangannya dengan lembut untuk menunjukkan kasih sayang mereka. Mereka berbaris disekitarnya seperti pengawal, siap menjaganya dari musuh dan melindunginya dari marabahaya. Tak ada yang bisa membuat mereka menyakitinya.

Betapa terkejutnya para pengikut setia raja. Mereka yang tengah siap menyaksikkan tontonan sadis, tidak menyangka dengan apa sedang mereka lihat kali ini. Mereka justru menyaksikkan teladan kasih sayang antara manusia dan binatang.

Sementara itu, apa yang terjadi dengan raja? Ketika keremangan senja merangkak ke peristirahatannya, menutupi pakaian putihnya dengan warna emas senjakala, kemarahan sang raja mulai reda. Karena merasa bersalah dengan perintahnya yang gegabah, ia sangat menyesal dan bekata pada pegawainya, “Mengapa aku memerintahkan anjing-anjing ganas itu membantai kijang yang tak berdosa? Pergi dan lihatlah apa yang terjadi pada pemuda yang malang itu.”

Para pergawai melakukan apa yang dipoerintahkan, dan kembali denga membawa salah seorang penjaga yang diminta untuk memberikan laporan pada raja. Sang penjaga gemetar untuk menyampaikan kejadian yang sebenarnya. Ia tahu bahwa anak muda itu telah mendapatkan kepercayaan anjing dan para penjaganya, dengan cara menunjukkan persahabatan dan memberikan hadiah. Ia berkata, “Paduka yang mulia. Pemuda itu bukanlah manusia biasa. Pastilah iamalaikat yang jatuh adari langit, perantara Yang Mahakuasa dalam melakukan sebuah mukjizat. Datang dan lihatlah sendiri, Paduka. Di sana ia duduk dikelilingi anjing-ajing yang kejam itu, dan mereka tidak memperlihatkan taringnya. Sebagaimana Paduka ketahui,anjing-anjing itu asalah serigala berwajah naga. Namun, oh Paduka, tak satu pun dari mereka yang mengganggu bahkan sehelai rambutnya pun tidak.”

Ketika raja mendengar cerita itu, ia melompat dari takhtanya, tergopoh-gopoh ke kandang secepat kakinya bias mengangkut tubuhnya, untuk menyelamatkan pemuda itu, jika mungkin tepat waktunya.

Raja melihat dengan mata kepalanya sendiri. Air mata mengaliri pipinya seperti sebuah semburan, dan ketika para penjaga telah melepaskan tali yang mengikat pemuda malang iu dan membawanya ke luar kandang. Dengan tersedu-sedu, sang raja memeluknya dan meminta maaf yang tak terkira banyaknya.

Sejenak kemudian, ketika ia duduk sendirian bersama pemuda yang terselamatkan itu, ia bertanya, “ Sekarang, ceritakan bagaiman kejadian sebenarnya? Bagaimana kau tetap tak terluka selama di sana?”

Pemuda itu pun tak kuasa untuk menyembunyikan kebenaran dari sang raja. Setelah menyampai seluruh ceritakan kepadanya, ia melanjutkan:

“Paduka tahu, anjing Paduka menjadi suka pada saya dan menyelamatkan jiwa saya karena beberapa potong daging. Dan Paduka? Paduka sangat tahu bahwa saya telah mengabdi pada Paduka denga setia sejak remaja. Namun, hanya karena sekali membuat Paduka jengkel, Paduka bermaksud membunuh saya. Lalu, siapa yang lebih baik, Paduka atau anjing Paduka? Siapa yang pantas mendapatkan kepercayaan dan penghormatan, Paduka atau anjing Paduka?”

Manusia mungkin bisa tidak berterima kasih, tapi tidak demikian dengan anjing-anjing itu. Ketika mereka mengenali sahabat mereka, mereka pun menemani sahabatnya dengan penuh kasih sayang. Lantas, di manakah posisi kita terhadap sahabat, sebagai anjing atau sang raja? -FatulNC-


1 comment: